Jebakan Statistik di Balik Euforia: Menguak Sisi Gelap Pengentasan Kemiskinan Kebumen

KEBUMEN JAWA TENGAH, 14 September 2025 – Kabar gembira datang dari Kabupaten Kebumen. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, angka kemiskinan di kabupaten ini turun signifikan. Persentase penduduk miskin kini tercatat 13,58 persen (162,54 ribu jiwa), jauh lebih rendah dari 15,71 persen (187,95 ribu jiwa) di tahun 2024. Prestasi ini membuat Kebumen tidak lagi menyandang predikat kabupaten termiskin di Jawa Tengah, posisi yang kini beralih ke Kabupaten Brebes. Bupati Kebumen, Lilis Nuryani, menyambut data ini dengan optimisme, menyebutnya sebagai bukti keberhasilan program pemerintah daerah.

Namun, di balik narasi kesuksesan yang digaungkan, muncul suara-suara skeptis yang mempertanyakan validitas data tersebut dalam merefleksikan kondisi riil masyarakat. Kritik pedas datang dari berbagai pihak, salah satunya Darsono, seorang aktivis dari Pergerakan Antiriba CBR (Camp Bebas Riba), yang menilai euforia ini terlalu dini. Ia berargumen bahwa data statistik hanyalah angka di atas kertas yang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas pahit di lapangan.

“Pemerintah jangan terlena dengan angka-angka BPS. Angka kemiskinan memang turun, tapi di saat yang sama, jeratan utang ilegal justru semakin masif,” ujar Darsono kepada wartawan, Sabtu (13/9) malam.

Pernyataan Darsono didasari oleh temuan yang mengkhawatirkan. Ia mengungkapkan bahwa timnya tengah mendampingi ratusan warga Kebumen yang terjerat utang dengan nilai fantastis. Mereka berasal dari beragam latar belakang, mulai dari mantan pejabat, ASN aktif, karyawan swasta, hingga pengusaha. Salah satu kasus yang ditangani bahkan melibatkan utang hingga lebih dari Rp 20 miliar.

Fenomena ini menunjukkan adanya paradoks: banyak warga yang secara statistik dianggap tidak miskin, namun kenyataannya justru berada di ambang krisis finansial akibat praktik-praktik pinjaman ilegal. Darsono menegaskan bahwa BPS mengukur kemiskinan berdasarkan garis pengeluaran, bukan tingkat utang atau kerentanan ekonomi. Celah inilah yang, menurutnya, gagal diantisipasi oleh kebijakan pemerintah daerah.

Sorotan tajam pun diarahkan kepada Pemkab Kebumen. Darsono mengkritik kelalaian pemerintah dalam memberantas praktik koperasi bodong, pinjaman online (pinjol) ilegal, dan rentenir yang merajalela. Ia menilai Pemkab Kebumen terkesan lebih fokus pada program-program pengentasan kemiskinan yang bersifat superfisial dan jangka pendek, alih-alih memberantas akar masalah yang membuat masyarakat terperosok dalam jeratan utang.

“Kami sudah berulang kali melaporkan praktik-praktik ini, tetapi responsnya lambat dan terkesan abai. Para pelaku bebas beroperasi karena pengawasan dari pemerintah daerah dan aparat hukum sangat minim,” tambah Darsono.

Ia mempertanyakan keseriusan Pemkab Kebumen dalam melindungi warganya dari predator keuangan yang berpotensi mempercepat kemiskinan struktural. Lantas, apakah pemerintah daerah akan terus berbangga dengan data statistik yang bersifat sementara, ataukah mereka akan mengambil langkah konkret untuk melindungi warganya dari ancaman krisis finansial yang nyata?

Warga Kebumen, yang saat ini berjuang keluar dari lilitan utang, menunggu jawaban dan tindakan nyata, bukan sekadar perayaan angka di atas kertas.

Publisher -Red
Reporter RC -Waluyo

About The Author